Pendidikan sebagai Benih Harapan
Jakarta - Judul buku: Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif; Penulis: Yudi Latif; Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2020; Tebal: 444 halaman
Hermanto Purba - detikNews
Sabtu, 16 Jan 2021 09:40 WIB
Pendidikan itu benih harapan. Manakala masyarakat dilanda kegelapan, keterbelakangan, keterpurukan, kekacauan, sedang tidak tahu kunci solusinya, maka sandaran pamungkasnya adalah pendidikan. Bila benih itu mendapat pengairan, penerangan, dan perawatan jiwa yang baik, ia akan tumbuh jadi pohon pengetahuan, kebijaksanaan, dan peradaban yang subur luhur. Itulah kekayaan manusia yang tidak bisa lenyap bahkan oleh kematian sekali pun.
Pendidikan sebagai benih harapan harus memprioritaskan pembangunan manusia Indonesia unggul yang berkarakter, inovatif, kreatif, dan kompeten. Namun untuk mewujudkannya, ada ujian berat yang dihadapi yaitu tantangan patriotisme progresif. Maka semua pihak harus mengerahkan segala daya, dukungan, dan komitmen lewat transformasi pendidikan sehingga bisa menjadi bangsa bahagia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Dalam bukunya setebal 444 halaman ini, Yudi Latif secara gamblang menjabarkan tentang konsepsi pendidikan yang berkebudayaan sebagai ikhtiar untuk mentransformasikan peradaban Indonesia. Pendidikan yang berkebudayaan itu ia kemukakan dalam lingkup yang luas, mulai dari aspek histori, konsepsi, aktualisasi pendidikan dalam lintasan sejarah Indonesia beserta antisipasinya dalam menyiapkan pendidikan era baru.
Bahwa di tengah perkembangan kehidupan dunia yang berubah begitu cepat belakangan ini, pendidikan budi pekerti (pendidikan yang berkebudayaan) memegang peranan yang cukup penting dan mutlak untuk dilaksanakan. Di mana dengan pendidikan budi pekerti diharapkan akan tumbuh manusia Indonesia merdeka, yang berbudaya dan beradab.
Sebab jika ditilik dari sisi sejarah, pendidikan berbasis budaya dinilai berperan penting sebagai pengungkit kebangkitan bangsa serta kemajuan industri dan teknologi. Bahwa dalam usaha pembaruan di bidang industri dan teknologi termasuk dalam bidang-bidang lainnya haruslah berjejak pada budaya lokal seraya mengadopsi hal-hal baru dari luar negeri yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa (perpaduan antara global vision dan local wisdom).
Harapannya apa? Hal-hal yang baik dapat dipertahankan, sementara yang buruk dibuang. Bukan malah sebaliknya, yang buruk dipertahankan, yang baik justru dibuang. Dengan belajar dari sejarah, bangsa ini diharapkan bisa memuliakan kembali peran pendidik, yang belakangan kerap mendapat perlakuan kurang baik dari masyarakat, sementara guru, dapat merevitalisasi elan vitalnya sebagai pendorong kebangkitan bangsa.
Pada masa kolonial Belanda, pendidikan bersifat diskriminatif, segregatif, dan sering kali represif. Namun dari sekian banyak sisi negatif sistem pendidikan kolonial itu, ada pula sisi positifnya. Salah satunya adalah didirikannya sekolah keguruan (Sekolah Pelatihan Guru Pribumi) dengan sistem pengajaran bermutu tinggi. Sekolah pertama yang didirikan pemerintahan kolonial bagi anak-anak pribumi itu melahirkan guru-guru yang berkualitas.
Kaum guru itu pulalah yang pertama kali mempromosikan gerakan kemajuan. Kaum guru pula yang memelopori lahirnya media-media cetak, klub-klub sosial, serta rumah-rumah penerbitan. Singkat kata, pada tingkat embrional, pergerakan kaum gurulah yang membuka jalan bagi kebangkitan nasional yang mendorong perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada salah satu bagian bukunya, Yudi Latif membahas konsepsi pendidikan nasional dan konsepsi kebudayaan nasional di garis pemikiran Ki Hajar Dewantara. Kedua bagian ini merupakan pasangan integral yang saling melengkapi. Di mana pendidikan dan kebudayaan seperti dua sisi mata uang, yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Bagi Ki Hajar, pendidikan yang ia sebut sebagai benih harapan, merupakan wahana pembangunan bangsa demi meraih kehidupan yang setara, sejahtera, maju, bersatu, berkepribadian, dan terlibat dalam pergaulan (perdamaian) dunia. Selain sebagai wahana pemupukan basis kapabilitas, menurut Ki Hajar, pendidikan juga berfungsi untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai makhluk berkebudayaan.
Pada bagian lain, Yudi Latif secara komprehensif menyajikan tentang bagaimana pendidkan transformatif dalam visi kesetaraan, kesejahteraan, kemajuan, persatuan, kepribadian, dan pergaulan-perdamaian dunia. Kedua bagian ini merupakan kesatuan integral dalam rangka mewujudkan visi dan misi negara. Di mana di dalamnya digambarkan tentang idealitas dan realitas pendidikan dan peradaban bangsa.
Upaya transformatif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dirasa mendesak, mengingat dampak destruktif yang bisa ditimbulkan oleh kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan bagi keutuhan negara Indonesia. "Merevitalisasi" Pancasila menjadi salah satu solusi yang ditawarkan oleh Yudi Latif. Tetapi dengan melakukan semacam rekayasa terbalik. Di mana urusan keadilan sosial diposisikan menjadi yang terdepan sebagai lokomotif untuk menarik rangkaian gerbong aktualisasi sila-sila lainnya.
Pancasila itu memang dimulai dari sila yang abstrak (ketuhanan) dan berakhir dengan yang konkret (keadilan sosial). Namun menurut Latif, makin konkret, makin sulit pembumiannya. Dan bila pembumian yang konkret itu gagal diwujudkan, maka akan banyak orang yang akhirnya menguatkan pegangannya ke langit abstrak, sebagai mekanisme pertahanan diri. Itu pula alasannya kenapa Yudi Latif lebih memilih menawarkan rekayasa terbalik tadi.
Meskipun demikian, pendidikan tidak hanya diorientasikan untuk mengembangkan keterampilan dalam rangka mengejar tujuan-tujuan praktis pragmatis dalam mewujudkan kesejahteraan material. Tetapi juga untuk menyemai nilai-nilai keyakinan dalam rangka membentuk pribadi dan warga negara yang baik. Sebab kecerdasan dan keterampilan tanpa kompas nilai bisa mengarah pada aktualisasi kemampuan yang negatif-destruktif.
Untuk itu, pendidikan "merdeka" yang kita butuhkan bukan hanya pengetahuan yang berkaitan dengan penguatan kapasitas kognitif melainkan juga yang berkaitan dengan penguatan jiwa dan kepribadian bangsa. Sebab sehebat apa pun capaian pembangunan fisik, bila jiwa bangsa rapuh, ketahanan nasional kita goyah, maka kehidupan publik akan lenyap yang akan mempercepat ketidakberdayaan negara.
Pendidikan budi pekerti (pendidikan yang berkebudayaan haruslah diterapkan ke dalam suatu konsepsi pendidikan yang relevan dan adekuat untuk menghadapi tantangan era industri baru. Bahwa secara asasi, pendidikan tak boleh tercerabut dari prinsip-prinsip dasarnya, namun dalam pendekatan dan teknik metodik bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Membaca buku ini, kita seperti dibawa untuk menghayati perkembangan pendidikan bangsa ini, mulai dari masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta mengajak kita untuk memahami proses pendidikan yang memerdekakan. Yudi Latif dengan indah merajut agar kita kembali ke jalan yang lurus: pendidikan yang berkebudayaan dalam kerangka transformasi bangsa. Saya merekomendasikan Anda untuk membaca buku "lezat" ini.
Hermanto Purba PNS di Pemkab Humbang Hasundutan
(mmu/mmu)
Sumber : https://news.detik.com/