Kejar Ketertinggalan, Anggaran Riset Harus Ditingkatkan Jadi 2%
Ilustrasi: Foto Shutterstock
Jum'at 01 Maret 2019 15:08 WIB
Okky Wanda lestari, Jurnalis
JAKARTA - Anggaran riset dan pengembangan di Indonesia sempat menjadi sorotan. Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan anggaran riset dan pengembangan masih relatif kecil, hanya sebesar 0,03%.
Untuk mengejar ketertinggalan, pemerintah harus meningkatkan anggaran riset dan pengembangan sebesar 2% dari PDB.
“Di Indonesia penggunaan dana riset masih terfragmentasi. Tersebar lintas kementerian dan dampaknya kecil terhadap perekonomian. Solusinya adalah integrasi belanja penelitian di lintas sektoral pemerintah di bawah lembaga dana abadi penelitian atau LPDP,” kata Bhima dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat (1/3/2019).
Sejak 2012 Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tak hanya mengelola dana beasiswa pendidikan S2 sampai S3, tapi jauh dari itu juga mengalokasikan dana untuk riset inovatif produktif (RISPRO). Total dana yang dikelola LPDP mencapai Rp 55 triliun.
“Itu dana abadi, artinya pokok dana tidak berkurang dan yang dipakai hanya imbal hasil/bunga investasi,” katanya.
Bhima menambahkan angka Rp 55 triliun masih perlu ditambah untuk kejar ketertinggalan riset dan pengembangan dengan negara lain. LPDP membutuh anggaran setidaknya Rp 296 triliun untuk meningkatkan anggaran riset dan pengembangan hingga dua persen.
“Dikurangi angka yang ada saat ini maka total tambahan anggaran LPDP idealnya Rp 241 triliun,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar International Islamic University Malaysia (IIUM) Erry Yulian Adesta mengungkapkan pemerintah Malaysia sangat serius dalam menggarap anggaran riset dan pengembangan (R/D). Saat ini, anggaran riset dan pengembangan Malaysia mencapai RM 400 juta atau setara Rp13,7 triliun.
Menurutnya, anggaran riset dan pengembangan ini menjadi salah satu penyebab melorotnya peringkat universitas-universitas di Indonesia. Berdasarkan Lembaga Pemeringkatan Universitas Dunia, Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking 2018, tiga universitas ternama di Indonesia masuk 500 terbaik di dunia yaitu Universitas Indonesia (UI) di posisi 292, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 359 dan Universitas Gadjah Mada (UGM) berada di 391.
Namun, posisi dua universitas melorot dibanding tahun lalu. Pada 2017, UI menduduki peringkat 277 dunia, ITB berada di 331. Sementara, UGM malah mengalami kinerja positif dari posisi 410 di tahun sebelumnya.
“Dari angka RM 400 juta, RM 30 juta untuk menjalin riset dengan industri dan pihak internasional. Dana yang dialokasikan itu harus mampu dikelola dengan prinsip dan luaran yang jelas dan terukur serta memiliki dampak. Bukan sekedar ritual melakukan riset sekedar mengisi Beban Kerja Dosen (BKD) seperti yang terjadi saat ini. Riset ada ekosistemnya yang saling bergantung satu sama lain. Dana riset yang kita miliki sudahlah terbatas penggunaannya pun serampangan tidak jelas inginnya apa,” ujar Erry.
Jika di Malaysia, lanjut Erry, penggunaan dana riset dan pengembangan ini bisa dipantau melalui aplikasi, MyGrants. Sehingga, penggunaan dananya bisa efektif dan efisien.
“Malaysia punya instrumen yang jelas dan terukur. Hampir tidak ada yang abu-abu sehingga anggaran riset bisa efektif dan juga efisien,” jelasnya.
Sebelumnya, anggaran riset dan pengembangan ini sempat menjadi sorotan saat CEO Bukalapak Achmad Zaky mengemukakannya di laman media sosial. Menurutnya, peningkatan anggaran riset dan pengembangan sangat diperlukan untuk membuat Indonesia siap menghadapi revolusi industri 4.0.
Zaky mengatakan pada prinsipnya ia sangat memperhatikan kemajuan industri teknologi di Indonesia. Ia sangat berharap agar semua pihak terlibat dalam investasi di bidang riset dan SDM secara berkelanjutan demi mendorong percepatan kemajuan bangsa di segala bidang.
(rhs)
Sumber : https://news.okezone.com