Diaspora Jadi PNS? Solusi Mengisi Kekosongan Tenaga Kerja

Foto: Diaspora Jadi PNS?

Selasa 14 Agustus 2018 14:36 WIB

Vanni Firdaus Yuliandi, Jurnalis

JAKARTA - Terdengar kabar tentang dibukanya kesempatan bagi ilmuwan diaspora Indonesia di berbagai negara dunia untuk bergabung menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Isu ini belakangan cukup membuat media massa, ruang-ruang publik serta pemerintahan menjadi ramai.

Perbincangan tentang skema dan regulasi ASN, alasan pemerintah membuat putusan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan ASN, menjadi sajian informasi yang sukar berhenti.

Meskipun memasuki era revolusi industri 4.0 ini, berbagai macam jenis pekerjaan baru bermunculan, ASN selalu menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia. Sebab, untuk bisa sampai pada posisi tersebut butuh usaha yang tidak mudah.

Setiap kali pendaftaran Aparatur Sipil Negara (ASN) dibuka, jutaan masyarakat Indonesia tak pernah lelah untuk mencoba peruntungannya merebutkan posisi ASN yang kerap dibuka tidak lebih dari seratus posisi.

Dan di tengah kondisi demikian, tiba-tiba saja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) membuka kesempatan untuk ilmuwan diaspora menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Hal ini tentu saja dengan sangat jelas akan menimbulkan peta persaingan baru di antara para pemburu CPNS yang belum beruntung.

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam rangkaian kegiatan Simposium Cendekia Kelas Dunia memberikan kesempatan kepada 47 ilmuwan diaspora yang diundang untuk bertemu langsung dengan Sekretaris Deputi Bidang SDM Aparatur Hermawan Suyatman.  

Menurutnya Sesditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti John Hendri acara Simposium Cendekia Kelas Dunia, sejak pertama kali digagas pada 2016, sampai saat ini telah menghasilkan impak yang luar biasa terhadap dunia keilmuan Indonesia dan dunia.

Hermawan mengungkapkan bahwa peta kebutuhan tenaga kerja di Indonesia saat ini benar-benar timpang. Ada banyak jenis pekerjaan yang belum mampu dikerjakan oleh orang Indonesia dengan kemampuan yang ada.

Alasan mengapa Aparatur Sipil Negara (ASN) pada akhirnya dibuka untuk diaspora adalah demi memenuhi kebutuhan ini, terutama untuk memperkuat sumber daya yang ada dalam menghadapi era disrupsi ke depan dan dalam upaya mewujudkan pemerintah kelas dunia di tahun 2024.

“Selama ini, tenaga kerja Indonesia sangat banyak. Tetapi, tenaga kerja yang spesifik sangat sedikit dan kespesifikan itu dimiliki oleh diaspora,” tutur Hermawan

 Tenaga kerja Indonesia saat ini didominasi oleh pelaksana administrasi. Jumlah ini tidak sesuai dengan kebutuhan suatu instansi di berbagai wilayah. Padahal rencana pengembangan birokrasi Indonesia ke depan adalah membangun birokrasi berkelas dunia sesuai dengan kondisi zaman. Di mana spesialisasi individu yang sesuai dengan kondisi sumber daya yang ada di sekitarnya merupakan hal yang mendesak.

“Kemenpan RB membutuhkan sinergi antar sektor dan lembaga pemerintah untuk sama-sama merencanakan pembangunan berkesinambungan. Karena selama ini masih banyak peta pembangunan yang bertumpang tindih dengan program yang lain. Padahal ekspektasi masyarakat terhadap perubahan yang diinisiasi oleh negara sangatlah besar.”

Dalam sesi diskusi bersama ilmuwan diaspora, kabar perihal pemanfaatan diaspora dengan menjadikan mereka bagian dari ASN menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Associate Professor of Molecular Biology di National Institute of Technology, Wakayama College Davin Setiamarga mengungkapkan kebingungannya tentang tujuan utama yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan menjadikan diaspora sebagai ASN.

“Menjadikan diaspora sebagai ASN bukanlah langkah utama yang harus diambil pemerintah.”

Research Scientist di RIKEN Center for Emergent Matter Science, Jepang Satria Zulkarnaen juga turut memberikan pandangannya terkait pemanfaatan diaspora. Ia menilai, langkah Kemenpan RB menjadikan diaspora sebagai ASN harus dibuatkan format atau platformnya agar skemanya jadi lebih jelas.

“Jika kedua hal tersebut tidak usai, maka dapat dipastikan impak dari perekrutan diaspora tidak akan terasa bahkan tidak ada kecuali pemerintah Indonesia mau meniru apa yang dilakukan oleh lembaga tempatnya bekerja di Jepang dalam hal perekrutan diaspora dari satu instansi ke instansi lainnya,” ujar Satria

Biasanya dalam merekrut ilmuwan, lembaga di Jepang tidak pernah merekrutnya secara sendirian. Ada komponen yang juga menjadi bagian terpenting dalam proses perekrutan, seperti peralatan penelitian, laboratorium, hingga sumber daya manusia yang bisa membantu proses di dalamnya.

Meskipun kerja seorang ilmuwan pada akhirnya adalah bekerja dalam kesunyian, tetapi keberadaan rekan kerja menjadi nilai penting yang tidak bisa diabaikan.

“Jika ilmuwan direkrut sendiri, ia akan sulit menjalankan tugasnya, meneliti dan berinovasi,” ungkap Satria.

Berkaca pada pengalaman yang telah dialami para diaspora, Herman menegaskan bahwa sebenarnya negara memberikan peluang kepada siapa pun untuk memilih. Terkait memanfaatkan atau tidak peluang yang telah diberi, itu dikembalikan pada individu masing- masing (diaspora).

Sebab dalam menentukan hal tersebut, pemerintah harus mempertimbangkan keuangan yang dimiliki negara.

“Pemerintah tidak bisa serta merta memutuskan sesuatu tanpa didasari fakta dan pertimbangan terlebih dahulu. Meskipun setiap dari kita meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah benar. Tetapi kebenaran tanpa data adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dipercaya.” jelas Herman

(rhs)

Sumber : https://news.okezone.com