Catat! Hadapi Era Revolusi Industri ke-4, Ini yang Harus Dilakukan Universitas agar Tak Tertinggal

Foto: Shutterstock

Sabtu, 23 September 2017 - 15:29 WIB

Siska Permata Sari, Jurnalis

JAKARTA - Memasuki era teknologi sekaligus revolusi industri ke-empat memunculkan perubahan di dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan hingga industri kerja. Dengan tantangan demikian, pencetak generasi seperti universitas memerlukan inovasi.

Apakah universitas masih relavan dan bisa bertahan tatkala dunia terus berubah? Itulah sebuah tanya yang menghinggapi salah satu akademisi di Surabaya, Badri Munir Sukoco.

Melalui orasi ilmiahnya bertajuk Orkestrasi Kapabilitas Dinamis untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa, profesor di Universitas Airlangga (Unair) memaparkan tantangan-tantangan universitas di era revolusi industri.

Era teknologi dan revolusi industri ke-empat tersebut ditandai dengan pengumuman perusahaan Google pada 2013 yang menyatakan bahwa untuk menjadi karyawan Google, tidak perlu menggunakan ijazah. Usai itu, sejumlah perusahaan juga menerapkan hal yang sama.

Belum lagi kini banyak pekerjaan baru yang memudahkan masyarakat. Contohnya pengemudi online, pengantar makanan online, pengembang aplikasi, dan sebagainya. Sementara itu banyak pekerjaan lama yang digantikan oleh mesin.

"Lantas, masihkah universitas relevan untuk turut andil dalam meningkatkan daya saing bangsa?" kata Badri seperti dilansir dari laman Unair, Sabtu (23/9/2017).

Dengan demikian, kata dia, perlu yang namanya creative class untuk membuat sebuah negara punya daya saing. Universitas sendiri, kata Badri, punya andil besar dalam menciptakan creative class.

Berdasarkan riset yang ia lakukan, saat ini hanya terdapat 7,93 persen creative class di Indonesia. Sementara sesuai prediksi Pricewaterhouse Coopers, Indonesia akan menjadi lima besar negara dengan ekonomi terbaik di dunia jika creative class mencapai 20 persen.

"Creative class dibentuk oleh universitas. Sedangkan universitas kalau ingin menciptakan creative class harus bisa memprediksi kira-kira pekerjaan apa yang akan eksis dalam tahun-tahun ke depan," terang Badri.

Ia menyoroti bagaimana otomasi dalam industri pekerjaan mulai gencar dilakukan. Oleh sebab itu, sebagai pencetak generasi muda, perubahan dalam universitas perlu dilakukan.

"Universitas harus melakukan reorientasi strategi. Selama ini, apa yang dibutuhkan pasar, ya, universitas yang menyediakan. Harusnya universitas juga memproyeksi pekerjaan apa yang kira-kira 10 tahun lagi akan banyak diburu," ujar akademisi tersebut.

Badri menuturkan, ada tiga proses yang harus dilakukan universitas untuk menghadapi tantangan revolusi industri ini. Yakni, sensing, seizing, dan reconfiguring.

"Melalui sensing, universitas harus secara konstan melakukan scanning, mencari, dan mengeksplorasi perkembangan teknologi dan perubahan di pasar, baik lokal maupun distant (industri dan global)," jelas dia.

Kedua, lanjut dia, terkait dengan memperluas peluang (seize opportunities), universitas dapat berkoordinasi dengan lembaga beasiswa seperti Lembaga Penyandang Dana Pendidikan (LPDP) untuk mengirim generasi muda Indonesia ke luar negeri untuk belajar dengan universitas-universitas terbaik dunia.

"Menempatkan calon-calon dosen baru pada berbagai pusat perkembangan teknologi yang menjadi pioner perkembangan revolusi industri adalah sebuah keharusan," sarannya.

Selanjutnya, proses ketiga yang harus dilakukan adalah reconfiguring the business enterprise’s intangible and tangible assets.

"Melakukan rekonfigurasi fakultas atau program studi yang ditawarkan agar sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, seperti arahan Presiden Jokowi baru-baru ini," imbuhnya.

Menurut Badri, pentingnya kepekaan universitas untuk beradaptasi dengan Revolusi Industri ke-empat. Selain peran universitas, peran pemerintah dalam memberikan kebijakan yang relavan dengan kondisi seperti ini merupakan hal yang wajib. "Sebuah keharusan agar tak ketinggalan kereta," tandasnya.

(sus)

Sumber : https://news.okezone.com