Permendikbud 30/2021: Dituding Legalkan Seks Bebas-Lolos dari Gugatan di MA

Aksi penolakan kekerasan seksual di perguruan tinggi saat Mendikbudristek Nadiem Makarim berkunjung ke Unpad (Foto: Wisma Putra)

Rabu, 20 Apr 2022 08:30 WIB

Nikita Rosa – detikEdu

Jakarta - Diteken Nadiem Makarim akhir Agustus 2021, perjalanan Permendikbudristek Nomor 30/2021 sempat menuai polemik bahkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Aturan agar lingkungan perguruan tinggi bebas dari kekerasan seksual ini pun dituding "mengizinkan" seks bebas.
Saat pro-kontra bergulir, Nadiem menegaskan, Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan bentuk perlindungan terhadap civitas akademika dalam mewujudkan pembelajaran yang aman.

"Tidak ada pembelajaran tanpa rasa aman. Dan ini merupakan kenapa di dalam perguruan tinggi kita kita harus mencapai suatu ideal yang lebih tinggi dari sisi perlindungan daripada masyarakat di dalam perguruan tinggi kita, baik itu dosen, mahasiswa, maupun semua tenaga kependidikan di dalam lingkungan kampus," ujarnya dalam acara Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, Jumat (12/11/2021).

Saat itu, ia membeberkan survei internal dan eksternal yang dilakukan oleh Kemendikbudristek, angka kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi terhitung besar. Sebanyak 89 persen korban adalah perempuan dan 4 persen dialami laki-laki.

"Berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota korban kekerasan seksual itu hampir 90 persen adalah perempuan. Tapi bukan hanya perempuan laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual," jelas Nadiem.

Sementara pada 2020 tercatat 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan.

Selain itu, Nadiem mengutip data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 yang menunjukkan dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi.

Bagaimana perjalanan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS? Simak penjelasan berikut.

1. Latar Belakang Aturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Dari data kekerasan seksual yang terjadi di kampus, Nadiem Makarim menyampaikan Indonesia saat ini tak hanya berada dalam pandemi COVID-19, tapi juga pandemi kekerasan seksual. Karena itu, menurut Nadiem pemerintah mengambil posisi melindungi mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik dari ancaman kekerasan tersebut. Perlindungan dan hak korban menjadi prioritas utama dalam aturan tersebut.

"Kita pada saat ini dalam situasi gawat darurat. Kita bukan hanya ada dalam kondisi pandemi COVID tapi juga pandemi kekerasan seksual dilihat dari data apapun," ujarnya. "Target dari Permendikbud ini adalah melindungi puluhan ribu bahkan ratusan ribu korban dan untuk mencegah terjadinya kontinuasi daripada korban-korban ini."

Aturan itu juga memperjelas definisi bentuk kekerasan seksual. Selama ini, dalam proses penanganan kekerasan seksual, sering muncul kebingungan terkait hal-hal apa yang dapat dipahami sebagai kekerasan seksual.

Rendahnya pemahaman terkait hal tersebut sering menyulitkan proses penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Nadiem menjelaskan, Permendikbudristek PPKS ini juga berupaya menghilangkan area 'abu-abu' tersebut yang ada selama ini.

"Apa yang dimaksud dengan area abu-abu? Area abu-abu adalah aktivitas-aktivitas yang dipahami secara tidak hitam dan putih, apakah itu merupakan kekerasan seksual atau bukan," ujar Nadiem.

Selain itu, aturan itu juga mewajibkan kampus untuk membentuk satuan tugas guna menangani kasus kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswa atau terjadi di lingkungan kampus.

2. Dukungan dan Kritikan
Pengesahan Permendikbud ini menuai dukungan dan kritikan. Beberapa perguruan tinggi dan golongan masyarakat menyambutnya dengan hangat, salah satunya adalah Universitas Gadjah Mada (UGM). Fisipol UGM lebih dulu membentuk FISIPOL Crisis Center sebagai unit penanganan kekerasan seksual di lingkungan FISIPOL UGM.

"Adanya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan unit-unit seperti FISIPOL Crisis Center tentu menjadi lampu hijau awal penegakan keadilan bagi para penyintas kasus kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi," dikutip dari laman resmi UGM (30/10/2021).

Namun, ada juga kelompok masyarakat yang menganggap aturan tersebut kontroversial. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menuding bahwa Permendikbud melegalkan zina akibat frasa 'tanpa persetujuan korban'.

Menurut anggota MPR RI Fraksi PKS, Andi Akmal Pasluddin, peraturan tersebut secara langsung mengkampanyekan kebebasan seks dengan dalih suka sama suka.

Frasa tersebut dikhawatirkan tak hanya akan menimbulkan seks bebas namun juga mendorong tumbuh suburnya keberadaan LGBT. Untuk itu dirinya tegas menolak aturan tersebut. "Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 perlu direvisi atau dicabut," ujar Andi Akmal dikutip dari detiknews (24/11/2021).

Adapun Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga meminta aturan itu dicabut. alasan yang dikemukakan Muhammadiyah adalah adanya pasal yang dianggap bermakna terhadap legalisasi perbuatan asusila dan seks bebas di kampus.

3. Gugatan di Mahkamah Agung
Tidak sampai di situ, kritikan ini juga sampai dalam bentuk gugatan ke Mahkamah Agung. Gugatan ini disampaikan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dengan nomor perkara 34 P/HUM/2022.
LKAAM mengajukan gugatan terhadap Permendikbud dengan alasan aturan itu mengandung frasa yang dapat menimbulkan pergaulan bebas di lingkungan perguruan tinggi.

Gugatan ini dilawan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Apik Jakarta, dan SAFEnet.

Mereka mengungkapkan bahwa dasar pemikiran pemohon yang disampaikan dalam gugatan tidak sejalan dengan Permendikbud 30/2021. Sebab aturan ini mengatur tentang kekerasan seksual sedangkan materi permohonan sendiri berfokus pada kesusilaan.

"Apa yang disampaikan pemohon itu tidak berdasar. Karena kalau kita lihat dalam konstruksi pikirannya, bahwa penolakan itu didasarkan frasa tanpa persetujuan untuk mendefinisikan kekerasan akan menyebabkan terjadinya perilaku asusila," tutur peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam konferensi pers (11/4/2022) .

4. Keputusan Mahkamah Agung
MA akhirnya menolak gugatan uji materiil atau judicial review terhadap Permendikbudristek tersebut. "Kita (pemerintah) bersyukur, berdasarkan info yang termuat pada website kepaniteraan MA yang kami terima, bahwa MA telah menolak permohonan hak uji materiil terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021," ujar Inspektur Jenderal Kemendibudristek Chatarina Girsang dalam keterangan tertulis, Senin (18/4/2022)

Chatarina menyampaikan apresiasi kepada para sivitas akademika seluruh Indonesia, lembaga masyarakat sipil, serta komunitas lain yang mendukung Permendikbudristek PPKS ini. "Lahirnya Permendikbudristek ini adalah momentum untuk menyatukan langkah kita untuk melindungi warga pendidikan tinggi dari ancaman kekerasan seksual yang merusak masa depan," ujar Chatarina.

(pal/pal)

Sumber : https://www.detik.com/